Ini bukan
rencana yang bagus, pikirku. Menghabiskan liburan natal dan tahun baru di rumah
sakit. Seharusnya ini tak perlu terjadi kalo tifus ini tak mampir di sat yang ‘tepat’.
Tepat saat aku menjalani libur panjang dari sekolah. Ibuku selalu berkata, kalo
ini tidak akan mengganggu liburanku. Cukup beberapa hari dirawat di sini dan
aku akan pulang dengan keadaan jauh lebih baek. Tapi dinding putih di
sekelilingku dan bau obat yang menghiasi bangunan tua ini, kembali membuatku
menghela nafas. Ini bukan rencana yang bagus.
‘Siapa
namamu, Nak?’ kata dokter yang menemani aku dan ibuku menyusuri lorong-lorong
suram rumah sakit ini, tanpa melihad ke arahku, dan terus membolak-balik
catatan yang dibawanya.
‘Eben.
Stinkov Eben.’ jawabku pelan.
‘Dia akan
menghabiskan beberapa hari di sini, kurasa. Bisa anda pastikan semuanya
berjalan menyenangkan untuk putraku,
Dokter?’ ibuku menambahkan.
‘Tentu saja.’
dokter itu berhenti berjalan. ‘Panggil aku Dokter Jenkins. Kau tak akan
menyesal mengorbankan liburanmu di sini, Eben.’
‘Yah. Kuharap.........’
aku belum menyelesaikan ucapanku saat aku melihat seorang bocah, sebaya
denganku, berontak di antara beberapa dokter yang membawanya. Dia berteriak
keras, berkali-kali, sampai semua orang melihat ke arahnya. ‘Aku bukan Edward......
Aku bukan Edward.......’ berkali-kali dia teriakkan hal itu sambil terus
berontak.
‘Siapa dia,
Dok?’ aku cukup penasaran mendengar teriakan-teriakan yang menggema di seluruh
rumah sakit.
‘Heh.......’ dokter itu menghela
nafas, dan mulai berkisah, ‘Anak itu namanya Bennet Edward. Beberapa hari yang
lalu, dia dibawa ke sini karena kecelakaan. Hal itu mengakibatkan kaki kirinya
lumpuh dan harus diamputasi. Semenjak kabar itu aku sampaikan pada Edward, dia
tak pernah bicara lagi. Hanya tatapan kosong yang selalu aku lihat setiap aku
melewati kamarnya. Ini percoban ketiga kami untuk mengoperasi kakinya. Tapi dengan
kondisinya yang selalu berteriak-teriak dan memberontak, membuat kami sering
gagal mengoperasinya.’ kisahnya.
‘Wow.........’ hanya itu yang
keluar dari mulutku setelah mendengar kisah dokter Jenkins. Dia pasti sengat
depresi. Tentu saja. Dengan usia yang masi kecil harus diamputasi kakinya,
pasti dia sangat tertekan dan depresi. Akupun mungkin akan lakukan hal yang
sama.
Langkahku terhenti di depan kamar
tempat aku dirawat. Edward. Aku sekamar dengan Edward. Seperti yang dokter Jenkins
katakan, dia begitu sepi. Tatapannya kosong. Jauh menerawang entak kemana. Segera
aku naik ke ranjang, menarik selimud, berusaha beristirahat. Kecupan dari ibuku
beberapa menit yang lalu agaknya akan menambah sepi di sini. Dia harus pulang
dan berjanji akan kebali besok sore. Yah. Mungkin aku bisa menghabiskan waktu
bersama dengan Edward. Bennet Edward.
‘Heii. Kamu Edward kan? Salam kenal.
Aku Eben.’ kataku, coba menyapanya.
Hening.
Tak muncul sepatah kata pun.
‘Hallo. Kamu Edward kan? Aku Eben,
teman sekamarmu.’ aku berusaha ramah.
‘Aku bukan Edward’ jawabnya
lirih.
‘Okke Edward, eh, maav. Siapa namamu?’
‘Aku bukan Edward.’
Cukup anak muda. Aku ragu bisa
menghabiskan waktu bersama dengan ‘Tuan Aku Bukan Edward’ ini. Mungkin lebih
baek aku tidur. Aku rasa tidur adalah hal terindah yang dapat aku lakukan di
rumah sakit dengan teman sekamar yang aneh. Itulah yang coba aku lakukan
sebelum suara derit pintu menyadarkanku. Dokter Jenkins masuk ke ruang kami.
‘Hallo Eben. Bagaimana ruanganmu?’
dokter Jenkins menyapaku.
‘Seharusnya lebih baek tanpa ‘Tuan
Aku Bukan Edward’ itu.’
‘Sudahlah.’ dokter Jenkins
tersenyum. ‘Kami tak punya lagi ruang kosong untukmu Eben. Tolong dipahami. Edward,
besok kami akan mendatangkan dokter spesialis dari kota seberang. Mereka yang
akan mengoperasimu. Aku harap semuanya berjalan dengan lancar.’ lanjutnya.
‘Aku bukan Edward.’ katanya. Ucapan
yang sudah kuduga.
Malam ini harusnya aku sudah
tidur. Tapi dalam keadaan setengah sadar, aku masi bisa melihat Edward turun
dari ranjangnya. Aku coba menyapanya. Tapi tak bersuara. Hening. Badanku pun
tak bisa bergerak saat aku coba menghampirinya. Aku hanya tidur di ranjang,
mengamatinya. Edward berjalan normal, tak terlihat bahwa kakinya harus
diamputasi. Dia menunduk. Melakukan sesuatu di depan ranjang kami, tapi aku tak
bisa melihat jelas appa yang dia lakukan. Beberapa saat kemudian, dia kembali
naik ke ranjangnya, melihat ke arahku, tersenyum. Senyum yang menyakitkan.
‘Hei.... bangun!’ beberapa orang
berpakaian putih-putih mengelilingiku. Mereka memegang erat tangan dan kakiku. Dalam
keadaan setengah sadar, aku dibawa dengan ranjang dorong. Heii.......... apa
yang.... Aku berhenti berpikir, saat aku lihat papan nama di ranjangku. Edward
Bennet. Mana mungkin? Tanda nama di ranjangku dan ranjang Edward tertukar.
‘Hei. Aku bukan Edward.’ teriakku,
berontak.
‘Tenanglah , Nak. Ini tidak akan
menyakitkan. Operasi ini tidak akan berlangsung lama.’ salah satu dari mereka
mengatakannya dengan lembut.
‘Ya..... ya..... Dokter sebelum
kami pun mengatakan kalo kamu akan selalu berteriak dan memberontak saat akan
dioperasi. Itu tidak akan berpengaruh dengan kami.’ salah satu dari mereka
menambahkan.
‘Aku bukan Edward........ Aku
Eben. Eben Stinkov.’
‘Aku menyesal, Nak. Tapi seseorang
dengan nama Eben Stinkov sedang bersama dengan dokter Jenkins di ruangan
tempatmu berada tadi.’ kata sesorang dari mereka, lagi.
Hah. Samar-samar aku melihat
Edward dan dokter Jenkins mengintip dari ruangan kami. Mereka kembali
tersenyum. Senyum yang mengerikan.............. Beberapa detik kemudian, dokter
Jenkins membawa Edward masuk ke kamarnya.
‘Tapi............ aku bukan Edward’
teriakanku benar-benar keras hingga orang-orang di sekitar melihat ke arahku.
‘Aku bukan Edward..............’
‘Aku bukan Edward.............’
‘AKU BUKAN
EDWARD...................’
Suaraku semakin hilang sesaat
setelah aku dimasukkan ke ruang operasi.
‘Aku bukan Edward................
Aku bukan................. Aku.................’
Ini benar-benar bukan rencana
yang bagus.
.Goosebumps.