Bakso Panaz? Makanan berwujud daging sebesar pusar kah..?

Bakso Panaz?
Hah.....?
Blog tentang jajanan dan onggokan daging?

Sure, it's not babe..
Kami, bocah-bocah Malang, absolutely kenal ma yg namanya bakso. Tapi, kenikmatan dan kekenyalan bulatan-bulatan daging dengan saos merah laksana darah perawan, tentu bukan tentang merekalah isi blog kami.

Bakso Panaz, adalah kumpulan keluh kesah dan beberapa cerita tentang ketidaklayakan dan keabsurdan kehiddupan manusia yg kadang dibikin susah mendekati galau. Disini kami belajar menertawakan segala keluh kesah dan keabsurdan agar terasa layak untuk dinikmati, bukan diratapi..

@Least sih..
Let'z enjoy ajah..
This is reborn of the Hot Meatballs..

Rabu, 12 Oktober 2011

horrorpitch: Aku bukan Edward






             Ini bukan rencana yang bagus, pikirku. Menghabiskan liburan natal dan tahun baru di rumah sakit. Seharusnya ini tak perlu terjadi kalo tifus ini tak mampir di sat yang ‘tepat’. Tepat saat aku menjalani libur panjang dari sekolah. Ibuku selalu berkata, kalo ini tidak akan mengganggu liburanku. Cukup beberapa hari dirawat di sini dan aku akan pulang dengan keadaan jauh lebih baek. Tapi dinding putih di sekelilingku dan bau obat yang menghiasi bangunan tua ini, kembali membuatku menghela nafas. Ini bukan rencana yang bagus.
            ‘Siapa namamu, Nak?’ kata dokter yang menemani aku dan ibuku menyusuri lorong-lorong suram rumah sakit ini, tanpa melihad ke arahku, dan terus membolak-balik catatan yang dibawanya.
            ‘Eben. Stinkov Eben.’ jawabku pelan.
            ‘Dia akan menghabiskan beberapa hari di sini, kurasa. Bisa anda pastikan semuanya berjalan menyenangkan  untuk putraku, Dokter?’ ibuku menambahkan.
            ‘Tentu saja.’ dokter itu berhenti berjalan. ‘Panggil aku Dokter Jenkins. Kau tak akan menyesal mengorbankan liburanmu di sini, Eben.’
            ‘Yah. Kuharap.........’ aku belum menyelesaikan ucapanku saat aku melihat seorang bocah, sebaya denganku, berontak di antara beberapa dokter yang membawanya. Dia berteriak keras, berkali-kali, sampai semua orang melihat ke arahnya. ‘Aku bukan Edward...... Aku bukan Edward.......’ berkali-kali dia teriakkan hal itu sambil terus berontak.
            ‘Siapa dia, Dok?’ aku cukup penasaran mendengar teriakan-teriakan yang menggema di seluruh rumah sakit.
‘Heh.......’ dokter itu menghela nafas, dan mulai berkisah, ‘Anak itu namanya Bennet Edward. Beberapa hari yang lalu, dia dibawa ke sini karena kecelakaan. Hal itu mengakibatkan kaki kirinya lumpuh dan harus diamputasi. Semenjak kabar itu aku sampaikan pada Edward, dia tak pernah bicara lagi. Hanya tatapan kosong yang selalu aku lihat setiap aku melewati kamarnya. Ini percoban ketiga kami untuk mengoperasi kakinya. Tapi dengan kondisinya yang selalu berteriak-teriak dan memberontak, membuat kami sering gagal mengoperasinya.’ kisahnya.
‘Wow.........’ hanya itu yang keluar dari mulutku setelah mendengar kisah dokter Jenkins. Dia pasti sengat depresi. Tentu saja. Dengan usia yang masi kecil harus diamputasi kakinya, pasti dia sangat tertekan dan depresi. Akupun mungkin akan lakukan hal yang sama.
Langkahku terhenti di depan kamar tempat aku dirawat. Edward. Aku sekamar dengan Edward. Seperti yang dokter Jenkins katakan, dia begitu sepi. Tatapannya kosong. Jauh menerawang entak kemana. Segera aku naik ke ranjang, menarik selimud, berusaha beristirahat. Kecupan dari ibuku beberapa menit yang lalu agaknya akan menambah sepi di sini. Dia harus pulang dan berjanji akan kebali besok sore. Yah. Mungkin aku bisa menghabiskan waktu bersama dengan Edward. Bennet Edward.
‘Heii. Kamu Edward kan? Salam kenal. Aku Eben.’ kataku, coba menyapanya.
Hening.
Tak muncul sepatah kata pun.
‘Hallo. Kamu Edward kan? Aku Eben, teman sekamarmu.’ aku berusaha ramah.
‘Aku bukan Edward’ jawabnya lirih.
‘Okke Edward, eh, maav. Siapa namamu?’
‘Aku bukan Edward.’
Cukup anak muda. Aku ragu bisa menghabiskan waktu bersama dengan ‘Tuan Aku Bukan Edward’ ini. Mungkin lebih baek aku tidur. Aku rasa tidur adalah hal terindah yang dapat aku lakukan di rumah sakit dengan teman sekamar yang aneh. Itulah yang coba aku lakukan sebelum suara derit pintu menyadarkanku. Dokter Jenkins masuk ke ruang kami.
‘Hallo Eben. Bagaimana ruanganmu?’ dokter Jenkins menyapaku.
‘Seharusnya lebih baek tanpa ‘Tuan Aku Bukan Edward’ itu.’
‘Sudahlah.’ dokter Jenkins tersenyum. ‘Kami tak punya lagi ruang kosong untukmu Eben. Tolong dipahami. Edward, besok kami akan mendatangkan dokter spesialis dari kota seberang. Mereka yang akan mengoperasimu. Aku harap semuanya berjalan dengan lancar.’ lanjutnya.
‘Aku bukan Edward.’ katanya. Ucapan yang sudah kuduga.
Malam ini harusnya aku sudah tidur. Tapi dalam keadaan setengah sadar, aku masi bisa melihat Edward turun dari ranjangnya. Aku coba menyapanya. Tapi tak bersuara. Hening. Badanku pun tak bisa bergerak saat aku coba menghampirinya. Aku hanya tidur di ranjang, mengamatinya. Edward berjalan normal, tak terlihat bahwa kakinya harus diamputasi. Dia menunduk. Melakukan sesuatu di depan ranjang kami, tapi aku tak bisa melihat jelas appa yang dia lakukan. Beberapa saat kemudian, dia kembali naik ke ranjangnya, melihat ke arahku, tersenyum. Senyum yang menyakitkan.
‘Hei.... bangun!’ beberapa orang berpakaian putih-putih mengelilingiku. Mereka memegang erat tangan dan kakiku. Dalam keadaan setengah sadar, aku dibawa dengan ranjang dorong. Heii.......... apa yang.... Aku berhenti berpikir, saat aku lihat papan nama di ranjangku. Edward Bennet. Mana mungkin? Tanda nama di ranjangku dan ranjang Edward tertukar.
‘Hei. Aku bukan Edward.’ teriakku, berontak.
‘Tenanglah , Nak. Ini tidak akan menyakitkan. Operasi ini tidak akan berlangsung lama.’ salah satu dari mereka mengatakannya dengan lembut.
‘Ya..... ya..... Dokter sebelum kami pun mengatakan kalo kamu akan selalu berteriak dan memberontak saat akan dioperasi. Itu tidak akan berpengaruh dengan kami.’ salah satu dari mereka menambahkan.
‘Aku bukan Edward........ Aku Eben. Eben Stinkov.’
‘Aku menyesal, Nak. Tapi seseorang dengan nama Eben Stinkov sedang bersama dengan dokter Jenkins di ruangan tempatmu berada tadi.’ kata sesorang dari mereka, lagi.
Hah. Samar-samar aku melihat Edward dan dokter Jenkins mengintip dari ruangan kami. Mereka kembali tersenyum. Senyum yang mengerikan.............. Beberapa detik kemudian, dokter Jenkins membawa Edward masuk ke kamarnya.
‘Tapi............ aku bukan Edward’ teriakanku benar-benar keras hingga orang-orang di sekitar melihat ke arahku.
‘Aku bukan Edward..............’
‘Aku bukan Edward.............’
‘AKU BUKAN EDWARD...................’
Suaraku semakin hilang sesaat setelah aku dimasukkan ke ruang operasi.
‘Aku bukan Edward................ Aku bukan................. Aku.................’
Ini benar-benar bukan rencana yang bagus.




.Goosebumps.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar